Pada dasarnya konflik merupakan gejala yang bersifat serba hadir (omni
present) dalam kehidupan bermasyarakat. Akibatnya, di manapun dan
kapanpun, selalu terbuka celah untuk terjadinya suatu konflik. Menurut
Soeryono Soekanto, pertentangan atau konflik adalah suatu proses sosial
di mana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan
jalan menentang fihak lawan yang disertai dengan ancaman dan atau
kekerasan. Konflik ini terjadi akibat semakin tajamnya perbedaan yang
ada, yang dipicu oleh kesadaran pribadi atau kelompok terhadap
perbedaan, misalnya ciri-ciri badaniah, emosi, unsur-unsur kebudayaan,
pola-pola perilaku, dan seterusnya dengan fihak lain .
Sementara menurut Wiess dan Becker sebab-musabab atau akar-akar dari pertentangan atau konflik itu antara lain adalah :
1. Perbedaan-perbedaan antara individu-individu. Perbedaan pendirian dan
perasaan mungkin akan melahirkan bentrokan antara mereka.
2. Perbedaan kebudayaan. Perbedaan kepribadian dari orang per orang
tergantung pula dari pola kebudayaan yang menjadi latar belakang
pembentukan serta perkembangan kepribadian tersebut. Seseorang secara
sadar maupun tidak sadar, sedikit banyak akan terpengaruh oleh pola-pola
pemikiran dan pola-pola pendirian dari kelompoknya. Selanjutnya keadaan
tersebut dapat pula menyebabkan terjadinya pertentangan antar kelompok
manusia.
3. Perbedaan kepentingan. Perbedaan kepentingan antar individu maupun
kelompok merupakan sumber lain dari pertentangan. Wujud kepentingan
dapat bermacam-macam. Ada kepentingan ekonomi, politik, dan lain
sebagainya.
4. Perubahan sosial. Perubahan sosial yang sedang berlangsung dengan
cepat untuk sementara waktu akan mengubah nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat. Dan ini menyebabkan terjadi golongan-golongan yang berbeda
pendiriannya, umpamanya mengenai reorganisasi sistem nilai. Sebagaimana
diketahui, perubahan sosial mengakibatkan terjadinya disorganisasi pada
struktur.
Kecenderungan dari bangsa kita, lebih menganggap bahwa konflik adalah
sesuatu yang sangat perlu untuk dihindari. Hal ini dikarenakan
masyarakat kita cenderung percaya bahwa harmoni atau keselarasan antar
individu atau antar kelompok berada di atas segala-galanya, sehingga
dengan demikian maka organisasi ataupun individu-2 dalam organisasi
cenderung menghindar ketika ada suatu potensi konflik, tanpa berusaha
untuk mengelolanya. Penghindaran semacam ini memang diakui dapat efektif
menghindarkan benturan pada suatu ketika. Namun potensi konflik yang
tak terkelola ini justru akan menjadi bom waktu dan meledak menjadi
benturan yang lebih besar dan membawa akibat yang jauh lebih parah jika
tidak dikelola dengan tepat dan benar. Di sinilah fungsi kepemimpinan,
di mana seorang pemimpin harus memiliki kemampuan untuk mengelola
konflik dengan langkah-langkah sesuai dengan tahapan dari konflik itu
sendiri (manajemen konflik), karena walaupun sama-sama tidak diharapkan,
namun konflik pasti suatu ketika akan terjadi juga.
Miftah Thoha mencatat ada dua tataran konflik. Yang pertama adalah
konflik antar pribadi, dan yang kedua adalah konflik organisasi .
Konflik antar pribadi terjadi jika dua orang atau lebih berinteraksi
satu sama lain dalam melaksanakan pekerjaan. Joe Kelly melihat bahwa
dalam tahap ini, konflik dapat timbul karena: pertama, perbedaan
pandangan yang tidak bisa disatukan; kedua, tidak adanya toleransi, dan
yang ketiga, terlalu cepat mengambil kesimpulan. Dalam mengelola konflik
pada tataran ini, ada tiga strategi dasar yang bisa diaplikasikan,
yaitu: lose-lose (sama-sama merugi) di mana pihak-pihak yang bertikai
sama-sama menderita kerugian, win-lose (kalah-menang) di mana salah satu
pihak yang bertikai ada yang mengalami kerugian dan pihak yang lain
mengalami keuntungan, dan win-win (sama-sama beruntung) di mana semua
pihak yang bertikai sama-sama mendapatkan kemenangan.
Yang kedua adalah konflik organisasi. Konflik organisasi sebenarnya
adalah konflik antarpribadi yang mengambil tempat dalam suatu organisasi
tertentu. Ada empat struktur yang seringkali menjadi tempat
berlangsungnya konflik, yakni: (1) konflik hierarki, suatu konflik yang
timbul antar tingkatan hierarki dalam organisasi, misal antara kepala
dan wakil kepala; (2) konflik fungsional, suatu konflik yang terjadi
antar bagian yang menjalankan fungsi-fungsi berbeda; (3) konflik
Lini-Staf; yang melibatkan pejabat lini dan staf; dan (4) Konflik
Formal-Informal, konflik yang melibatkan satuan-satuan organisasi formal
dan informal .
Dalam konflik organisasi seperti di atas, Louis Pondy menawarkan tiga
penyelesaian sebagai berikut : (1) pendekatan tawar menawar (bargaining
approach), yaitu tawar menawar antara pihak-pihak yang terlibat dalam
konflik; (2) pendekatan birokratis, yang digunakan untuk mengatasi
konflik hierarki baik horizontal ataupun vertikal. Strategi untuk
mengatasi konflik seperti ini ialah mengganti aturan-aturan birokrasi
yang impersonal yang cenderung kaku dengan cara-cara kontrol yang
personal dan luwes; (3) pendekatan sistemik, yang digunakan untuk
mengatasi persoalan koordinasi antar fungsi. Dua strategi utama dalam
pendekatan ini adalah mengurang perbedaan yang mencolok dari tujuan-2
yang ingin diapai antar unit-2 organisasi, dan mengurangi ketergantungan
fungsional antar satuan-2 organisasi tersebut.
Menurut Ralf Dahrendorf, ada dua macam tataran konflik. Yang pertama
adalah konfik latent, di mana pertentangan untuk memenuhi kebutuhan
tidak terwujud ke dalam konflik terbuka, dan yang kedua, konflik
manifest, yaitu bila konflik yang pertama tadi mewujud ke dalam
pertikaian terbuka .
Ada sejumlah syarat agar latent conflict dapat berubah menjadi manifest
conflict. Menurut Dahrendorf, syarat itu dapat diklasifikasikan menjadi
tiga, yaitu :
(1) kondisi teknis, di mana dalam kondisi itu konflik memerlukan munculnya pemimpin dan pembentukan ideologi.
(2) kondisi politik, di sini konflik memerlukan tingkat kebebasan yang ada untuk pembentukan kelompok dan tindakan kelompok, dan
(3) kondisi sosial, yang mana di dalamnya meliputi tingkat komunikasi antar anggota dari suatu kelompok semu .
Sementara menurut William Hendricks, tahap-tahap konflik meliputi tiga
tahap, yaitu: tahap satu, konflik dalam peristiwa sehari-hari. Konflik
pada tahap ini tidak begitu mengancam dan paling mudah untuk dikelola.
Ciri konflik pada tahap ini adalah terjadi terus menerus, misalnya
ditandai dengan perasaan jengkel terhadap rekan sekerja, teman sekantor
dan sebagainya. Salah satu bentuk manajemen konflik yang efektif dalam
tahap ini adalah “menghindar”. Intervensi pimpinan atau pihak ketiga
cenderung belum diperlukan. Tahap dua, tahap tantangan. Di sini ditandai
dengan sikap kalah-menang. Cara menghindar tidak lagi efektif pada
tahap satu, karena di sini sudah ada upaya seseorang untuk memenangkan
konflik. Oleh karena itu, intervensi pihak lain mulai diperlukan.
Tahap ketiga atau terakhir, adalah tahap pertentangan. Tujuan untuk
menang seperti pada tahap dua di sini telah berubah menjadi keinginan
untuk menciderai. Eskalasi konflik meningkat, bahkan pada upaya untuk
menghilangkan pihak lawan.Di sini mutlak diperlukan campur tangan pihak
luar, berupa negosiasi dan arbitrase. Di sini nyaris tidak mungkin satu
persoalan dapat diselesaikan dengan win-win solution, karena
masing-masing pihak telah mengambil keputusan untuk bertindak dan
menegakkan eksistensinya, serta mengenyahkan eksistensi orang atau
kelompok lain. Dengan demikian, sejak tahap awal konflik, kehadiran
manajemen konflik menjadi suati software dan hardware yang diperlukan
untuk menekan konflik sehingga tidak termanifestasi ke dalam perilaku
destruktif.
Studi tentang konflik dan manajemen konflik memang sudah banyak
dilakukan orang. Namun kebanyakan dari konflik yang diteliti adalah
konflik yang melibatkan antar etnis, antar bangsa atau antar negara,
sebagaimana yang ditulis oleh Hansen, Mitchell dan Nemeth yang memetakan
dan meneliti konflik antar negara bagian dan organisasi internasional.
. Studi lain tentang konflik berskala internasional juga pernah
dilakukan oleh Gerald Schneider dan Vera E. Troeger yang berupaya
menjelaskan tentang pengaruh perang atau konflik anntar bangsa terhadap
perekonomian dunia . Tulisan lain tentang berbagai manajemen konflik
internasional dapat dilihat dari tulisan Kyle C. Beardsley, David M.
Quinn, Bidisha Biswas dan Jonathan Wilkenfeld yang meneliti tentang
metode mediasi dalam berbagai krisis internasional. Sementara dalari
dalam negeri, pemetaan terhadap berbagai konflik etnis di Indonesia dan
beberapa negara Asia juga dipaparkan dengan sangat baik oleh Rizal
Panggabean .
Namun kesemua studi tentang manajemen konflik tersebut memberikan porsi
terbesar pada kasus-kasus kekerasan yang melibatkan orang dewasa. Simon
Fisher telah melakukan identifikasi tentang teori-teori kemunculan
konflik, dan pendekatan yang bisa digunakan untuk melakukan penyelesaian
konflik. Studi Fisher selama ini mengambil domain issue konflik etnik,
dan konflik antara masyarakat dan negara.
Masih cukup jarang studi yang khusus menyorot tentang konflik atau
perilaku kekerasan yang melibatkan anak-anak, baik sebagai korban maupun
perlaku, dan terjadi di dunia pendidikan, yang terkenal dengan istilah
bullying. Salah satu peneliti yang mencoba memotret kasus kekerasan yang
terjadi di sekolah tersebut adalah Ratna Juwita, seorang psikolog
Universitas Indonesia yang melakukan studinya pada tingkat SD, SMP, dan
SMA. Untuk memotret kasus kekerasan yang terjadi di tiga level
pendidikan tersebut, Ratna Juwita melakukan survey di tiga kota, yaitu
Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta.
Hasil penelitiannya cukup mencengangkan, karena dari tiga kota tempat
dilaksanakannya survei mengenai gambaran bullying di sekolah, Yogyakarta
mencatat angka tertinggi dibanding Jakarta dan Surabaya. Ditemukan
kasus bullying di 70,65 persen SMP dan SMU di Yogyakarta. Dianggap
mencengangkan karena selama ini kasus-kasus tersebut jarang diekspos ke
publik oleh media. Selain itu, Yogyakarta pernah populer dengan sebutan
kota pelajar yang seharusnya memiliki lingkungan dan iklim pendidikan
yang kondusif bagi penyelenggaraan kegiatan dan proses belajar mengajar.
Sayangnya, penelitian tersebut belum mampu menjelaskan faktor-faktor
yang mempengaruhi tingginya angka kekerasan di Yogyakarta. Hal ini jelas
akan makin memperburam predikat kota pendidikan yang juga pernah
tercoreng dengan tingginya kasus pergaulan bebas beberapa tahun yang
lalu.
Fenomena bullying memang belum sepopuler fenomena atau manifestasi
konflik yang lain. Secara umum, bullying didefinisikan sebagai kekerasan
terhadap seorang anak. Secara harfiah, bullying berarti menggertak atau
mengganggu pihak yang lemah, sesuatu yang banyak terjadi di lingkungan
sekolah anak-anak kita. Pada praktiknya, seringkali gangguan atau
gertakan tak hanya berhenti pada tindakan verbal (melalui ungkapan
lisan), banyak kasus sampai ke bentuk perilaku fisik (tindakan
penganiayaan). Bullying juga tak hanya dilakukan teman sepermainan atau
pelajar yang lebih senior. Guru tanpa disadari kadang kala ikut
melakukannya, baik ketika menegur secara lisan sampai ketika menghukum
siswa yang dianggap lemah dalam belajar atau berbuat salah.
Dari pandangan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa bullying dapat
termanifestasi ke dalam tindakan fisik dan non fisik. Dalam lingkungan
sekolah, di mana terjadi frekuensi pertemuan yang rapat antar siswa dan
antara siswa dengan guru, maka bullying dapat dilakukan oleh sesama
murid, dilakukan oleh seorang guru kepada murid, atau bahkan tidak
jarang, dilakukan seorang murid kepada guru. Fenomena terakhir ini
pernah beberapa kali terjadi di Indonesia, tidak terkecuali di
Yogyakarta, di mana pernah ada suatu persitiwa seorang Kepala SMK
Muhammadiyah di Bantul dianiaya beberapa muridnya hingga menderita
gegar otak lantaran dianggap membuat keputusan yang merugikan mereka.
Di tiap sekolah sebenarnya telah terdapat prosedur dan mekanisme untuk
menyelesaikan konflik agar tidak mewujud dalam perilaku destruktif dan
merugikan. Salah satu pihak yang paling berperan dalam manajemen konflik
di sekolah ini adalah keberadaan Guru Bimbingan Konseling yang
diasumsikan paling mengetahui titik-titik rawan potensi konflik di
institusinya. Namun tidak karang, para Guru tersebut kurang optimal
menjalankan peranannya dalam mengelola konflik karena pemahaman mereka
yang juga belum optimal terhadap fenomena konflik dan teknik-teknik
manajemen konflik yang efektif. Oleh karena itu, diperlukan suatu
penelitian untuk memetakan penyebab-penyebab konflik yang terjadi di
sekolah-sekolah, dampak yang terjadi terhadap pelaku, dan apa tindakan
yang selama ini telah diambil. Dengan demikian dapat dilihat apakah pola
pengelolaan atau manajemen konflik yang selama ini diambil oleh para
guru sudah efektif atau belum.
Dari temuan di lapangan, maka akan dikombinasikan dengan berbagai teori
dan konsep serta teknik mediasi dan resolusi konflik dapat ditemukan
dalam berbagai referensi. Dari situlah lahir suatu model manajemen
konflik yang diharapkan akan dapat membantu guru dan sekolah untuk
mengatasi konflik dan mengelola konflik secara lebih baik, sehingga
konflik akan memberikan dampak yang produktif dan konstruktif, dan tidak
berimbas pada perilaku yang destruktif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar